Sabtu, 13 April 2013

Kami tak sekadar investasi tapi ikut membangun

Bisnis private equity tergolong masih berusia muda di Indonesia. Belakangan ini, sejumlah aksi merger dan akuisisi bernilai jumbo melibatkan perusahaan pembiak dana orang-orang kaya tersebut. Kehadiran raksasa private equity global turut menandai potensi bisnis ini di Indonesia. Berikut penuturan CEO Ancora Capital, Veronica Lukito, kepada wartawan KONTAN Dian Pitaloka Saraswati dan Yura Syahrul, Selasa (19/3) lalu.
Bisnis private equity dan perusahaan lokal yang menjalankan bisnis ini memang masih hijau di Indonesia, masih sangat baru. Hanya beberapa perusahaan yang sudah hadir. Mungkin jumlahnya hanya belasan.  
Meski demikian, jenis perusahaan seperti ini memiliki konsep bisnis yang sudah terbukti di dunia internasional. Salah satu tantangan menjalankan usaha ini, termasuk di Indonesia, adalah bagaimana  mendapatkan kepercayaan pemilik dana untuk dikelola dananya dan kemudian kami bagikan hasilnya. Apalagi, keuntungan yang didapat tidak diperoleh dalam waktu singkat, butuh waktu bertahun-tahun.
Perkembangan bisnis private equity di Indonesia belum terlalu pesat. Persaingan dan tantangan yang kami hadapi banyak, meskipun peluang untuk berinvestasi di Indonesia cukup luas seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, sebagai perusahaan private equity lokal kami memang bersaing dengan private equity asing. Mereka masuk ke Indonesia baik untuk mencari dana kelolaan atau mencari target investasi dan mengakuisisi perusahaan lain. Namun, sebagai pemain lokal, kami memahami dinamika bisnis di sini. Pemain baru terus bermunculan dan semakin banyak, tapi hanya sedikit yang berhasil.
Indonesia merupakan negara yang perlu banyak pembangunan di berbagai sektor, baik soft infrastructure maupun hard infrastructure. Jadi, banyak pilihan untuk menanamkan investasi langsung. Kami masih melihat sektor konsumer menarik, begitu pula sektor retail, finansial, dan manufaktur. Peluang berinvestasi di sektor perbankan juga masih terbuka meskipun banyak aturan baru dari pihak regulator.
Jaringan bagus
Untuk memulai dan menjalankan bisnis ini, tentu yang dibutuhkan adalah sebuah tim yang andal. Jumlah tim Ancora Capital hanya sedikit, yakni 15 orang. Jumlahnya tidak banyak, namun kami semua harus menjalin kerja sama yang baik. Masing-masing anggota tim memiliki kemampuan spesifik yang mendukung bisnis ini agar berjalan lancar.
Sebagai fund manager, kami harus mengombinasikan kemampuan kami untuk mencari dana, mencari sasaran perusahaan yang akan dibeli. Setelah itu, memberikan nilai tambah pada perusahaan tersebut, termasuk merumuskan exit strategy yang sesuai dengan tujuan investasi kami.
Pada praktiknya, fund manager bekerja dalam suatu siklus pencarian dana, lalu menginvestasikannya. Kami mencari dana dulu, baru menemukan perusahaan yang sesuai dengan target untuk diakuisisi.
Ancora mencari perusahaan berskala kecil hingga medium karena sejak awal fokus kami memang di perusahaan-perusahaan itu. Kami suka membangun sesuatu daripada membeli perusahaan yang sudah jadi dan besar.
Dalam menjalankan bisnis private equity, yang utama dan menjadi modal kami adalah kepercayaan, pelayanan, kualitas, dan jaringan yang bagus. Brand atau nama perusahaan ini memang penting untuk meyakinkan pemilik dana, namun ini harus didukung dengan pelayanan yang kami berikan.
Profil manajemen dan siapa yang ada di tim kami sedikit banyak memang berperan dalam menunjukkan kualitas pekerjaan ini. Kami memiliki jaringan yang kuat dan luas di Indonesia sehingga bisa menjadi keunggulan Ancora.
Kelebihan Ancora, antara lain, kami adalah pemain lokal yang memahami betul potensi apa yang dimiliki di Indonesia, dan mengenal perusahaan lokal yang ada di sini. Jadi, pendekatan yang kami lakukan akan lebih mudah.
Perusahaan yang kami incar bisa saja diincar juga oleh pihak lain. Saya menyadari hal ini sebagai tantangan, tapi apa yang diinginkan pemilik perusahaan belum tentu sesuai dengan minat private equity.
Jika perusahaan tersebut ingin mencari partner yang memiliki bisnis yang sama, tentu kami tidak akan memaksakan diri untuk membeli perusahaan itu karena kami tidak mempunyai sesuatu yang mereka inginkan.
Misalnya, perusahaan sepatu yang hanya ingin mendapatkan investor dari produsen kulit; sementara kami bukan produsen kulit. Jadi, perusahaan tersebut otomatis tidak akan menjadi sasaran kami.
Kami menargetkan bisa membukukan dua hingga tiga kesepakatan saja, dalam setahun. Jumlah itu sudah bagus karena merupakan proses dari puluhan deal yang kami coba buat. Bukan pekerjaan mudah untuk meyakinkan perusahaan yang kami coba pinang. Due diligence merupakan proses krusial dalam menentukan "kemenangan" kami di bisnis private equity ini.
Memberi nilai tambah
Tujuan private equity biasanya menjadi pemegang saham mayoritas. Dengan begitu, kami bisa memberikan kontribusi yang signifikan dalam pengembangan perusahaan. Kami bisa melakukan restrukturisasi perusahaan, keuangan hingga merombak manajemennya.
Sebenarnya, apa yang dilakukan oleh perusahaan private equity seperti Ancora tidak ada bedanya dengan perusahaan yang baru saja berganti pemegang saham atau pemiliknya. Sebagai pemegang saham baru, tentu ingin menjadikan perusahaan itu lebih baik. Tapi, tidak harus selalu melalui restrukturisasi organisasi dan manajemen. Hal itu disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan saja.  
Saya menyadari bahwa pasti banyak yang resisten dalam proses transisi, yaitu ketika kami mengambil alih perusahaan. Namun, hal ini mau tidak mau harus dilewati bersama, dari pihak manajemen hingga karyawan. Ini merupakan konsekuensi yang lumrah ketika pemilik baru datang.
Tentu saja, kami tidak akan sembarangan menempatkan orang ke dalam perusahaan yang telah diambil alih. Kami mencari orang yang paham betul dengan bisnis yang dijalankan perusahaan tersebut sehingga bisa memberikan nilai tambah.
Nilai tambah inilah yang sebenarnya menjadi kekuatan  dan kelebihan sebuah private equity. Kami tidak sekadar berinvestasi hanya membeli saham, tapi juga membangun perusahaan tersebut. Saya kerap gemas jika melihat perusahaan yang bisnisnya tidak beres dan selalu ingin memperbaikinya.
Jika kami berhasil memberikan nilai tambah dan memberikan kemajuan perusahaan maka otomatis nilai perusahaan itu meningkat. Bahkan kalau perlu kami bekerja sama dengan pihak lain, asalkan tujuannya memang sama.
Sedangkan waktu yang kami butuhkan untuk melakukan exit dan merealisasikan keuntungan kepada para investor, sebenarnya tidak ada yang baku harus berapa tahun. Hal ini sangat tergantung dengan kesiapan perusahaan yang telah kami beli dan kelola. Tapi, rata-rata  untuk exit itu dibutuhkan waktu paling cepat tiga tahun.
Selain itu, bisa saja langkah exit terpaksa kami lakukan jika ada investor strategis yang berniat membelinya dengan harga yang sesuai. Exit strategy paling ideal yang kami lakukan adalah penjualan saham perdana ke publik atau initial public offering (IPO).

0 komentar:

Posting Komentar